Kejujuran itu
memang mudah untuk dikatakan. Bahkan lebih mudah lagi untuk menyarankan orang
di luar kita untuk berbuat jujur . Saat
bersama orang lain mungkin kita berapi-api mengatakan bahwa kita harus jujur.
Orang jujur disayangi Allah. Namun tidak semudah membalik telapak tangan untuk
melaksanakannya sendiri.
Di saat situasi fikiran terjepit. Disaat godaan dan kehendak
hati mendesak. Ini adalah situasi yang rumit. Antara otak dan nurasi sering
berdebat. Nurani mengatakan, jangan lakukan.
Namun boleh jadi otak kita
mencari dalih untuk pembenaran, terpaksa melakukannya. Ya, terpaksa!
Cerita ini bukan sekadar saya
lihat, tetapi sudah saya rasakan dan
alami sendiri. Ceritanya begini. Hasil semester empat bagi siswa kelas VIII SMP
merupakan semester yang sangat menentukan bagi putri saya. Jika ia tidak bisa
mempertahankan juara umumnya, gagallah rencananya untuk pergi ke negara
Malaysia sebagai reward (penghargaan) bagi siswa yang memperoleh juara umum di
sekolah. Reward ini diberikan oleh pemerintah kabupaten setiap tahunnya.
Selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum, saya menerima
semua data nilai siswa dari masing-masing guru mata pelajaran, termasuk nilai
anak saya sendiri. Setelah saya kalkulasikan nilai yang diperoleh anak saya,
ternyata putri saya memang gagal meraih juara umum setelah dikalahkan oleh
pesaing prestasi terdekatnya sebanyak 3 point. Otomatis anak saya gagal juga
untuk pergi ke negara Malaysia.
Tak dapat saya bayangkan kecewanya putri saya. Lalu saya
teliti lagi dimana tertinggalnya putri saya. Ternyata, ketinggalan 3 point
nilai anak saya berasal dari nilai mata pelajaran olah raga. Nilai olah raga
putri saya 75 sedangkan temannya 85. Nilai anak saya lebih baik pada mata
pelajaran yang di UN kan, namun selisih jumlah nilai hanya 3 point.
Otak saya berkata, guru olah raga memang baru bertugas di
tempat saya bertugas itu. Ia belum bisa membaca prestasi siswa sebelumnya. Bahkan,
ia tidak tahu kalau putri saya dia sendiri yang mengajarnya. Saya sebagai wakil
kepala sekolah tak pernah memberitahunya meskipun kami sudah akrab dalam waktu
yang singkat. Nah, apa salahnya kalau direkayasa saja nilai olah raga anak saya
yang sudah berada di tangan saya. Dari 75 diubah diam-diam menjadi 79, itu
sudah cukup membuat unggul putri saya satu angka dari pesaing terdekatnya. Guru
olah raga baru itu tidak bakal tahu, begitu otak saya berfikir.
Nurani saya berkata lembut dan pelan membujuk otak saya.
Jangan salahkan wewenang dan jabatan. Bagaimana bangsa ini jadinya jika jadi
wakil saja sudah curang, apalagi kalau sudah menjadi kepala sekolah. Biarlah
putrimu gagal ke Malaysia,biarlah putrimu kecewa lebih dulu. Akhirnya saya menuruti
nurani saya, nilai yang sudah terkumpul
pada saya segera di entri ke dalam komputer apa adanya dan diserahkan kepada
masiung-masing wali kelas.
Waktu penerimaan raport pun tiba. Putri saya tertunduk lesu
ketika menerima pengumuman bahwa dia juara kedua umum, bukan juara pertama. Di
rumah, saya melihatnya menangis di kamarnya. Nampaknya ia sangat sedih atas
kegagalanya itu.
Saya segera membujuknya setelah ia puas melampiaskan
kesedihannya dengan tangis. Nak, kamu memang telah gagal mempertahankan
prestasimu, bahkan gagal juga untuk pergi ke Malaysia. Belum nasibmu, nak untuk
kesana. Tapi, perjuanganmu belum berakhir. Masih ada kesempatan untuk berbuat
yang lebih baik. Masih ada kesempatan untuk mengembalikan prestasimu, ujian
nasional. Ya, ujian nasional. Kamu harus buktikan bahwa kamu memang yang terbaik.
Nilai UN nanti kamu usahakan yang tertinggi di sekolah ini. Begitulah, saya
membujuk dan menghibur putri saya.
Akhirnya, putri saya memang berhasil mewujudkan bahwa ia memang
yang terbaik. Ia memperoleh nilai NEM tertinggi sementara teman saingannya yang
telah pergi ke malaysia, terlempar dari 3 besar urutan nilai Ujian nasional tertinggi.
Bukan itu saja, putri saya berhasil diterima di SMU unggul di kota kabupaten.
Ternyata, kejujuran itu berbuah nikmat. Meskipun hanya wakil
kepala sekolah, saya telah memenangkan peperangan antara otak dengan nurani. Nurani
ternyata memang benar. Saya telah berhasil mengalahkan otak saya sendiri.*
Mempertahankan kejujuran memang sangat tidak mudah! Terkadang begitu berat melaksanakannya, tapi kejujuran tetap yang terbaik. Cepat atau lambat, kejujuran akan berbuah manis.
BalasHapusBenar sekali, buk. Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar...
Hapus