Katanya seorang laki-laki dewasa tidak layak menangis. Tapi kenyataan itu saya alami juga. Saya menangis bukan karena bersedih hati. Saya menagis, meneteskan air mata karena terharu. Terharu melihat seorang perempuan setengah baya berteduh di bawah pohon di pinggiran jalan raya. Kebetulan saat itu, hujan turun rintik-rintik.
Saya juga sedang berhenti di sebuah emperan rumah di pinggir jalan raya. Dari jarak sekitar 10 meter saya memperhatikan perempuan setengah baya itu. Perempuan itu rupanya seorang penjaja kue keliling berjalan kaki. Di sampingnya ada sebuah baskom tempat kue dagangannya yang ditutupi plastik. Kelihatannya perempuan itu belum berjual-beli sementara langit yang kelam menandakan akan turun hujan deras. Pandangannya menatap nanar ke seberang jalan. Saya memang tidak tahu apa yang sedang difikirkannya.
Hati saya menjadi trenyuh. Ternyata saya telah meneteskan air mata tanpa disadari.
Kenapa papa menangis? Anak saya bertanya heran.
Ah, nggak. Mata papa sakit sampai keluar airnya, kata saya berbohong. Menyusut setets air mata di pipi saya.
Ketika saya menoleh kembali ke arah permpuan penjaja kue keliling tersebut, saya tak lagi melihatnya. Meskipun ia tidak kelihatan lagi, perasaan saya seakan ikut dibawanya.
Saya segera berangkat dan menaiki motor seraya membonceng anak saya. Di perjalanan menjelang sampai di rumah, saya berfikir begitu susahnya kehidupan sekarang ini. Sementara orang-orang kaya banyak yang sibuk mengurus diri dan kekayaannya sendiri. Kalau mau menolong orang, maunya diketahui oleh orang banyak. Atau, kalau memberi bantuan pasti ada maunya atau ujung-ujungnya.*
Senin, 05 November 2012
Nikmatnya Buah kejujuran
Kejujuran itu
memang mudah untuk dikatakan. Bahkan lebih mudah lagi untuk menyarankan orang
di luar kita untuk berbuat jujur . Saat
bersama orang lain mungkin kita berapi-api mengatakan bahwa kita harus jujur.
Orang jujur disayangi Allah. Namun tidak semudah membalik telapak tangan untuk
melaksanakannya sendiri.
Di saat situasi fikiran terjepit. Disaat godaan dan kehendak
hati mendesak. Ini adalah situasi yang rumit. Antara otak dan nurasi sering
berdebat. Nurani mengatakan, jangan lakukan.
Namun boleh jadi otak kita
mencari dalih untuk pembenaran, terpaksa melakukannya. Ya, terpaksa!
Cerita ini bukan sekadar saya
lihat, tetapi sudah saya rasakan dan
alami sendiri. Ceritanya begini. Hasil semester empat bagi siswa kelas VIII SMP
merupakan semester yang sangat menentukan bagi putri saya. Jika ia tidak bisa
mempertahankan juara umumnya, gagallah rencananya untuk pergi ke negara
Malaysia sebagai reward (penghargaan) bagi siswa yang memperoleh juara umum di
sekolah. Reward ini diberikan oleh pemerintah kabupaten setiap tahunnya.
Selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum, saya menerima
semua data nilai siswa dari masing-masing guru mata pelajaran, termasuk nilai
anak saya sendiri. Setelah saya kalkulasikan nilai yang diperoleh anak saya,
ternyata putri saya memang gagal meraih juara umum setelah dikalahkan oleh
pesaing prestasi terdekatnya sebanyak 3 point. Otomatis anak saya gagal juga
untuk pergi ke negara Malaysia.
Tak dapat saya bayangkan kecewanya putri saya. Lalu saya
teliti lagi dimana tertinggalnya putri saya. Ternyata, ketinggalan 3 point
nilai anak saya berasal dari nilai mata pelajaran olah raga. Nilai olah raga
putri saya 75 sedangkan temannya 85. Nilai anak saya lebih baik pada mata
pelajaran yang di UN kan, namun selisih jumlah nilai hanya 3 point.
Otak saya berkata, guru olah raga memang baru bertugas di
tempat saya bertugas itu. Ia belum bisa membaca prestasi siswa sebelumnya. Bahkan,
ia tidak tahu kalau putri saya dia sendiri yang mengajarnya. Saya sebagai wakil
kepala sekolah tak pernah memberitahunya meskipun kami sudah akrab dalam waktu
yang singkat. Nah, apa salahnya kalau direkayasa saja nilai olah raga anak saya
yang sudah berada di tangan saya. Dari 75 diubah diam-diam menjadi 79, itu
sudah cukup membuat unggul putri saya satu angka dari pesaing terdekatnya. Guru
olah raga baru itu tidak bakal tahu, begitu otak saya berfikir.
Nurani saya berkata lembut dan pelan membujuk otak saya.
Jangan salahkan wewenang dan jabatan. Bagaimana bangsa ini jadinya jika jadi
wakil saja sudah curang, apalagi kalau sudah menjadi kepala sekolah. Biarlah
putrimu gagal ke Malaysia,biarlah putrimu kecewa lebih dulu. Akhirnya saya menuruti
nurani saya, nilai yang sudah terkumpul
pada saya segera di entri ke dalam komputer apa adanya dan diserahkan kepada
masiung-masing wali kelas.
Waktu penerimaan raport pun tiba. Putri saya tertunduk lesu
ketika menerima pengumuman bahwa dia juara kedua umum, bukan juara pertama. Di
rumah, saya melihatnya menangis di kamarnya. Nampaknya ia sangat sedih atas
kegagalanya itu.
Saya segera membujuknya setelah ia puas melampiaskan
kesedihannya dengan tangis. Nak, kamu memang telah gagal mempertahankan
prestasimu, bahkan gagal juga untuk pergi ke Malaysia. Belum nasibmu, nak untuk
kesana. Tapi, perjuanganmu belum berakhir. Masih ada kesempatan untuk berbuat
yang lebih baik. Masih ada kesempatan untuk mengembalikan prestasimu, ujian
nasional. Ya, ujian nasional. Kamu harus buktikan bahwa kamu memang yang terbaik.
Nilai UN nanti kamu usahakan yang tertinggi di sekolah ini. Begitulah, saya
membujuk dan menghibur putri saya.
Akhirnya, putri saya memang berhasil mewujudkan bahwa ia memang
yang terbaik. Ia memperoleh nilai NEM tertinggi sementara teman saingannya yang
telah pergi ke malaysia, terlempar dari 3 besar urutan nilai Ujian nasional tertinggi.
Bukan itu saja, putri saya berhasil diterima di SMU unggul di kota kabupaten.
Ternyata, kejujuran itu berbuah nikmat. Meskipun hanya wakil
kepala sekolah, saya telah memenangkan peperangan antara otak dengan nurani. Nurani
ternyata memang benar. Saya telah berhasil mengalahkan otak saya sendiri.*
Selamat Datang di Curahan Hati
Jika sahabat kebetulan nyasar atau sengaja berkunjung ke blog sederhana ini, tentulah saya mengucapkan selamat datang kepada sahabat yang budiman. Blog ini tidaklah berisi hal-hal yang ilmiah sifatnya melainkan bersifat alamiah (nature). Jadi, sahabat tak perlu berfikir panjang menggunakan rumus-rumus tertentu atau logika matematika. Sahabat cukup menggunakan beberapa alat indra yang dipadukan dengan fikiran dan perasaan.
Judulnya "Curahan hati" dengan deskripsi: yang kulihat, kurasa, kucium, kufikir dan kuhayal. Saya yakin, dalam pandangan humanisme, sahabat mungkin pernah melihat, merasa, mencium, memikirkan dan menghayal seperti yang saya curahkan dalam blog ini. Hanya saja barangkali, pemahaman dan penghayatan kita saja yang berbeda. Itu sudah lumrah! Manusia memiliki pemahaman dan penghayatan yang tidak sama terhadap suatu objek di luar diri kita.
Apapun pemahaman dan penghayatan sahabat terhadap blog ini beserta isinya, saya juga memahami dan menghayatinya dengan perasaan lepas dan tidak tertekan. Sepatah kata atau lebih, sangat saya harapkan dari sahabat melalui kotak komentar yang ada di bawah setiap postingan.
Saya juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan. Namun saya berkeyakinan bahwa sahabat telah memaklumi dan memahami akan hal ini.
Judulnya "Curahan hati" dengan deskripsi: yang kulihat, kurasa, kucium, kufikir dan kuhayal. Saya yakin, dalam pandangan humanisme, sahabat mungkin pernah melihat, merasa, mencium, memikirkan dan menghayal seperti yang saya curahkan dalam blog ini. Hanya saja barangkali, pemahaman dan penghayatan kita saja yang berbeda. Itu sudah lumrah! Manusia memiliki pemahaman dan penghayatan yang tidak sama terhadap suatu objek di luar diri kita.
Apapun pemahaman dan penghayatan sahabat terhadap blog ini beserta isinya, saya juga memahami dan menghayatinya dengan perasaan lepas dan tidak tertekan. Sepatah kata atau lebih, sangat saya harapkan dari sahabat melalui kotak komentar yang ada di bawah setiap postingan.
Saya juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan. Namun saya berkeyakinan bahwa sahabat telah memaklumi dan memahami akan hal ini.
Langganan:
Postingan (Atom)