Senin, 05 November 2012

Perempuan Penjaja Kue Keliling

Katanya seorang laki-laki dewasa tidak layak menangis. Tapi kenyataan itu saya alami juga. Saya menangis bukan karena bersedih hati. Saya menagis, meneteskan air mata karena terharu. Terharu melihat seorang perempuan setengah baya berteduh di bawah pohon di pinggiran jalan raya. Kebetulan saat itu, hujan turun rintik-rintik.

Saya juga sedang berhenti di sebuah emperan rumah di pinggir jalan raya. Dari jarak sekitar 10 meter saya memperhatikan perempuan setengah baya itu. Perempuan itu rupanya seorang penjaja kue keliling berjalan kaki. Di sampingnya ada sebuah baskom tempat kue dagangannya yang ditutupi plastik. Kelihatannya perempuan itu belum berjual-beli sementara langit yang kelam menandakan akan turun hujan deras. Pandangannya menatap nanar ke seberang jalan. Saya memang tidak tahu apa yang sedang difikirkannya.

Hati saya menjadi trenyuh. Ternyata saya telah meneteskan air mata tanpa disadari.
Kenapa papa menangis? Anak saya bertanya heran.
Ah, nggak. Mata papa sakit sampai keluar airnya, kata saya berbohong. Menyusut setets air mata di pipi saya.

Ketika saya menoleh kembali ke arah permpuan penjaja kue keliling tersebut, saya tak lagi melihatnya. Meskipun ia tidak kelihatan lagi, perasaan saya seakan ikut dibawanya.

Saya segera berangkat dan menaiki motor seraya membonceng anak saya. Di perjalanan menjelang sampai di rumah, saya berfikir begitu susahnya kehidupan sekarang ini. Sementara orang-orang kaya banyak yang sibuk mengurus diri dan kekayaannya sendiri. Kalau mau menolong orang, maunya diketahui oleh orang banyak. Atau, kalau memberi bantuan pasti ada maunya atau ujung-ujungnya.*



Nikmatnya Buah kejujuran


Kejujuran itu memang mudah untuk dikatakan. Bahkan lebih mudah lagi untuk menyarankan orang di luar kita untuk berbuat jujur .  Saat bersama orang lain mungkin kita berapi-api mengatakan bahwa kita harus jujur. Orang jujur disayangi Allah. Namun tidak semudah membalik telapak tangan untuk melaksanakannya sendiri.
Di saat situasi fikiran terjepit. Disaat godaan dan kehendak hati mendesak. Ini adalah situasi yang rumit. Antara otak dan nurasi sering berdebat. Nurani mengatakan, jangan lakukan.  Namun  boleh jadi otak kita mencari dalih untuk pembenaran, terpaksa melakukannya. Ya, terpaksa!

Cerita ini bukan sekadar saya lihat, tetapi sudah saya rasakan dan alami sendiri. Ceritanya begini. Hasil semester empat bagi siswa kelas VIII SMP merupakan semester yang sangat menentukan bagi putri saya. Jika ia tidak bisa mempertahankan juara umumnya, gagallah rencananya untuk pergi ke negara Malaysia sebagai reward (penghargaan) bagi siswa yang memperoleh juara umum di sekolah. Reward ini diberikan oleh pemerintah kabupaten setiap tahunnya.

Selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum, saya menerima semua data nilai siswa dari masing-masing guru mata pelajaran, termasuk nilai anak saya sendiri. Setelah saya kalkulasikan nilai yang diperoleh anak saya, ternyata putri saya memang gagal meraih juara umum setelah dikalahkan oleh pesaing prestasi terdekatnya sebanyak 3 point. Otomatis anak saya gagal juga untuk pergi ke negara Malaysia.

Tak dapat saya bayangkan kecewanya putri saya. Lalu saya teliti lagi dimana tertinggalnya putri saya. Ternyata, ketinggalan 3 point nilai anak saya berasal dari nilai mata pelajaran olah raga. Nilai olah raga putri saya 75 sedangkan temannya 85. Nilai anak saya lebih baik pada mata pelajaran yang di UN kan, namun selisih jumlah nilai hanya 3 point.

Otak saya berkata, guru olah raga memang baru bertugas di tempat saya bertugas itu. Ia belum bisa membaca prestasi siswa sebelumnya. Bahkan, ia tidak tahu kalau putri saya dia sendiri yang mengajarnya. Saya sebagai wakil kepala sekolah tak pernah memberitahunya meskipun kami sudah akrab dalam waktu yang singkat. Nah, apa salahnya kalau direkayasa saja nilai olah raga anak saya yang sudah berada di tangan saya. Dari 75 diubah diam-diam menjadi 79, itu sudah cukup membuat unggul putri saya satu angka dari pesaing terdekatnya. Guru olah raga baru itu tidak bakal tahu, begitu otak saya berfikir.

Nurani saya berkata lembut dan pelan membujuk otak saya. Jangan salahkan wewenang dan jabatan. Bagaimana bangsa ini jadinya jika jadi wakil saja sudah curang, apalagi kalau sudah menjadi kepala sekolah. Biarlah putrimu gagal ke Malaysia,biarlah putrimu kecewa lebih dulu. Akhirnya saya menuruti nurani saya,  nilai yang sudah terkumpul pada saya segera di entri ke dalam komputer apa adanya dan diserahkan kepada masiung-masing wali kelas.

Waktu penerimaan raport pun tiba. Putri saya tertunduk lesu ketika menerima pengumuman bahwa dia juara kedua umum, bukan juara pertama. Di rumah, saya melihatnya menangis di kamarnya. Nampaknya ia sangat sedih atas kegagalanya itu.
Saya segera membujuknya setelah ia puas melampiaskan kesedihannya dengan tangis. Nak, kamu memang telah gagal mempertahankan prestasimu, bahkan gagal juga untuk pergi ke Malaysia. Belum nasibmu, nak untuk kesana. Tapi, perjuanganmu belum berakhir. Masih ada kesempatan untuk berbuat yang lebih baik. Masih ada kesempatan untuk mengembalikan prestasimu, ujian nasional. Ya, ujian nasional. Kamu harus buktikan bahwa kamu memang yang terbaik. Nilai UN nanti kamu usahakan yang tertinggi di sekolah ini. Begitulah, saya membujuk dan menghibur putri saya.

Akhirnya, putri saya memang berhasil mewujudkan bahwa ia memang yang terbaik. Ia memperoleh nilai NEM tertinggi sementara teman saingannya yang telah pergi ke malaysia, terlempar dari 3 besar urutan nilai Ujian nasional tertinggi. Bukan itu saja, putri saya berhasil diterima di SMU unggul di kota kabupaten.
Ternyata, kejujuran itu berbuah nikmat. Meskipun hanya wakil kepala sekolah, saya telah memenangkan peperangan antara otak dengan nurani. Nurani ternyata memang benar. Saya telah berhasil mengalahkan otak saya sendiri.*  

Selamat Datang di Curahan Hati

Jika sahabat kebetulan nyasar atau sengaja berkunjung ke blog sederhana ini, tentulah saya mengucapkan selamat datang kepada sahabat yang budiman. Blog ini tidaklah berisi hal-hal yang ilmiah sifatnya melainkan bersifat alamiah (nature). Jadi, sahabat tak perlu berfikir panjang menggunakan rumus-rumus tertentu atau logika matematika. Sahabat cukup menggunakan beberapa alat indra yang dipadukan dengan fikiran dan perasaan.

Judulnya "Curahan hati" dengan deskripsi: yang kulihat, kurasa, kucium, kufikir dan kuhayal. Saya yakin, dalam pandangan humanisme, sahabat mungkin pernah melihat, merasa, mencium, memikirkan dan menghayal seperti yang saya curahkan dalam blog ini. Hanya saja barangkali, pemahaman dan penghayatan kita saja yang berbeda. Itu sudah lumrah! Manusia memiliki pemahaman dan penghayatan  yang tidak sama terhadap suatu objek di luar diri kita.

Apapun pemahaman dan penghayatan sahabat terhadap blog ini beserta isinya, saya juga memahami dan menghayatinya dengan perasaan lepas dan tidak tertekan. Sepatah kata atau lebih, sangat saya harapkan  dari sahabat melalui kotak komentar yang ada di bawah setiap postingan.

Saya juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, kekurangan dan kekhilafan. Namun saya berkeyakinan bahwa sahabat telah  memaklumi dan memahami akan hal ini.